Minggu, 08 Januari 2012

KONSTITUSI NEGARA

Pengertian Konstitusi
1. Pengertian Konstitusi Menurut Beberapa Ahli:
• K.C. Wheare, konstitusi ialah sistem ketatanegaraan suatu negara berupa kumpulan peraturan yang mengatur pemerintahan suatu negara.
• Koernimanto Soetopawiro, konstitusi berasal dari bahasa latin yaitu “cisme” yang berarti bersama dengan dan “statute” yang berarti memuat sesuatu agar berdiri. Jadi konstitusi berarti menetapkan secara bersama.
• L.j Van Apeldoorn, konstitusi memuat baik peraturan tertulis maupun peraturan tak tertulis.
• Lasalle, konstitusi adalah hubungan antara kekuasaaan yang terdapat di dalam masyarakat seperti golongan yang mempunyai kedudukan nyata di dalam masyarakat misalnya kepala negara angkatan perang, partai politik.
2. Dalam perkembangannya konstitusi mempunyai 2 pengartian, yaitu:
• Pengertian dalam arti luas: Keseluruhan dari ketentuan-ketentuan dasar atau hukum dasar (Droit Cnstitunelle) baik tertulis maupun tidak tertulis maupun campuran 2 unsur tersebut.
• . Pengertian dalam arti sempit: Piagam dasar atau UUD (Loi Cnstitunelle) yaitu suatu dokumen lengkap mengenai peraturan-peraturan dasar negara.
Jadi bisa disimpulkan pengertian konstitusi adalah sistem ketatanegaraan yang berupa peraturan baik tertulis maupun tidak tertulis yang ditetapkan bersama untuk mengatur pemerintahan suatu negara.


Tujuan Konstitusi
Tujuan konstitusi adalah juga tata tertib terkait dengan: a). berbagai lembaga-lembaga negara dengan wewenang dan cara bekerjanya, b) hubungan antar lembaga negara, c) hubungan lembaga negara dengan warga negara (rakyat) dan d) adanya jaminan hak-hak asasi manusia serta e) hal-hal lain yang sifatnya mendasar sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman.
Tolok ukur tepat atau tidaknya tujuan konstitusi itu dapat dicapai tidak terletak pada banyak atau sedikitnya jumlah pasal yang ada dalam konstitusi yang bersangkutan. Banyak praktek di banyak negara bahwa di luar konstitusi tertulis timbul berbagai lembaga-lembaga negara yang tidak kurang pentingnya dibanding yang tertera dalam konstitusi dan bahkan hak asasi manusia yang tidak atau kurang diatur dalam konstitusi justru mendapat perlindungan lebih baik dari yang telah termuat dalam konstitusi itu sendiri. Dengan demikian banyak negara yang memiliki konstitusi tertulis terdapat aturan-aturan di luar konstitusi yang sifat dan kekuatannya sama dengan pasal-pasal dalam konstitusi. Aturan-aturan di luar konstitusi seperti itu banyak termuat dalam undang-undang atau bersumber/berdasar pada adat kebiasaan setempat. Contoh yang tepat adalah Inggris dan Kanada, artinya tidak memiliki sama sekali konstitusi tertulis tetapi tidak dapat dikatakan tidak ada aturan yang sifat dan kekuatannya tidak berbeda dengan pasal-pasal dalam konstitusi.


Nilai-nilai Konstitusi
Nilai konstitusi yang dimaksud di sini adalah nilai (values) sebagai hasil penilaian atas pelaksanaan norma-norma dalam suatu konstitusi dalam kenyataan praktik. Sehubungan dengan hal itu, Karl Loewenstein dalam bukunya “Reflection on the Value of Constitutions” membedakan 3 (tiga) macam nilai atau the values of the constitution, yaitu (i) normative value; (ii) nominal value; dan (iii) semantical value. Jika berbicara mengenai nilai konstitusi, para sarjana hukum kita selalu mengutip pendapat Karl Loewenstein mengenai tiga nilai normatif, nominal, dan semantik ini. Menurut pandangan Karl Loewenstein, dalam setiap konstitusi selalu terdapat dua aspek penting, yaitu sifat idealnya sebagai teori dan sifat nyatanya sebagai praktik. Artinya, sebagai hukum tertinggi di dalam konstitusi itu selalu terkandung nilai-nilai ideal sebagai das sollen yang tidak selalu identik dengan das sein atau
keadaan nyatanya di lapangan.
Jika antara norma yang terdapat dalam konsititusi yang bersifat mengikat itu dipahami, diakui,diterima,dan dipatuhi oleh subjek hukum yang terikat padanya, maka konstitusi itu dinamakan sebagai konstitusi yang mempunyai nilai normatif. Kalaupun tidak seluruh isi konstitusi itu demikian, akan tetapi setidak-tidaknya norma-norma tertentu yang terdapat di dalam konstitusi itu apabila memang sungguh-sungguh ditaati dan berjalan sebagaimana mestinya dalam kenyataan, maka norma-norma konstitusi dimaksud dapat dikatakan berlaku sebagai konstitusi dalam arti normatif. Akan tetapi, apabila suatu undang-undang dasar, sebagian atau seluruh materi muatannya, dalam kenyataannya tidak dipakai sama sekali sebagai referensi atau rujukan dalam pengambilan keputusan dalam penyelenggaraan kegiatan bernegara, maka konstitusi tersebut dapat dikatakan sebagai konstitusi yang bernilai nominal. Manakala dalam kenyataannya keseluruhan bagian atau isi undang-undang dasar itu memang tidak dipakai dalam praktik, maka keseluruhan undang-undang dasar itu dapat disebut bernilai nominal. Misalnya, norma dasar yang terdapat dalam konstitusi yang tertulis (schreven constitutie) menentukan A, akan tetapi konstitusi yang dipraktikkan justru sebaliknya yaitu B, sehingga apa yang tertulis secara expressis verbis dalam konstitusi sama sekali hanya bernilai nominal saja. Dapat pula terjadi bahwa yang dipraktikkan itu hanya sebagian saja dari ketentuan undang-undang dasar, sedangkan sebagian lainnya tidak dilaksanakan dalam praktik, sehingga dapat dikatakan bahwa yang berlaku normative hanya sebagian, sedangkan sebagian lainnya hanya bernilai nominal sebagai norma-norma hukum di atas kertas “mati”. Sedangkan konstitusi yang bernilai semantik adalah konstitusi yang norma-norma yang terkandung di dalamnya hanya dihargai di atas kertas yang indah dan dijadikan jargon, semboyan, ataupun “gincu-gincu ketatanegaraan” yang berfungsi sebagai pemanis dan sekaligus sebagai alat pembenaran belaka. Dalam setiap pidato, norma-norma konstitusi itu selalu dikutip dan dijadikan dasar pembenaran suatu kebijakan, tetapi isi kebijakan itu sama sekali tidak sungguh-sungguh melaksanakan isi amanat norma yang dikutip itu. Kebiasaan seperti ini lazim terjadi di banyak negara, terutama jika di negara yang bersangkutan tersebut tidak tersedia mekanisme untuk menilai konstitusionalitas kebijakan-kebijakan kenegaraan (state’s policies) yang mungkin menyimpang dari amanat undang-undang dasar. Dengan demikian, dalam praktik ketatanegaraan, baik bagian-bagian tertentu ataupun keseluruhan isi undang-undang dasar itu, dapat bernilai semantik saja. Sementara itu, pengertian-pengertian mengenai sifat konstitusi biasanya dikaitkan dengan pembahasan tentang sifat-sifatnya yang lentur (fleksibel) atau kaku (rigid), tertulis atau tidak tertulis, dan sifatnya yang formil atau materiil.


Macam-macam Konstitusi
Macam – macam konstitusi Menurut CF. Strong konstitusi terdiri dari:
a). Konstitusi tertulis (dokumentary constiutution / writen constitution) adalah aturan – aturan pokok dasar negara , bangunan negara dan tata negara, demikian juga aturan dasar lainnya yang mengatur perikehidupan suatu bangsa didalam persekutuan hukum negara.
b). Konstitusi tidak tertulis / konvensi(nondokumentary constitution) adalah berupa kebiasaan ketatanegaraan yang sering timbul.
C). Konstitusi Formil yaitu konstitusi tertulis.
d). Konstitusi Materiil yaitu dilihat dari segi isinya berisikan hal-hal bersifat dasar pokok bagi rakyat dan negara.
Secara teoritis konstitusi dibedakan menjadi:
a) konstitusi politik adalah berisi tentang norma- norma dalam penyelenggaraan negara, hubungan rakyat dengan pemerintah, hubuyngan antar lembaga negara..
b) Konstitusi sosial adalah konstitusi yang mengandung cita – cita sosial bangsa, rumusan filosofis negara, sistem sosial, sistem ekonomi, dan sistem politik yang ingin dikembangkan bangsa itu.
Bedasarkan sifat dari konstitusi yaitu:
a) Flexible /atau luwes apabila konstitusi / undang undang dasar memungkinkan untuk berubah sesuai dengan perkembangan.
b) Rigid atau kaku apabila konstitusi atau undang undang dasar sulit untuk diubah..
Unsur substansi sebuah konstitusi yaitu:
Menurut sri sumantri konstitusi berisi 3 hal pokok yaitu:
1. Jaminan terhadap Ham dan warga negara.
2. Susunan ketatanegaraan yang bersifat fundamental(dasar).
3. Pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan


Kedudukan Konstitusi
Kedudukan konstitusi (UUD) Dengan adanya UUD baik penguasa dapat mengetahui aturan / ketentuan pokok mendasar mengenai ketatanegaraan . Sebagai hukum dasar Sebagai hukum yang tertinggi. Jadi pada intinya konstitusi aadalah hukum tertinggi yang hsrus dipatuhi oleh setiap elemen masyarakat dalam suatu negara.
Syarat Terjadinya Konstitusi
Syarat terjadinya konstitusi yaitu:
a. yang bersifat adil agar suatu bentuk pemerintahan dapat dijalankan secara demokrasi dengan memperhatikan kepentingan rakyat.
b. Melinmdungi asas demokrasi.
c. Menciptakan kedaulatan tertinggi yang berada ditangan rakyat Untuk melaksanakan dasar negara
d. Menentukan suatu hokum.


Perubahan Konstitusi
Perubahan konstitusi atau UUD yaitu: Secara revolusi, pemerintahan baru terbentuk sebagai hasil revolusi ini yang kadang – kadang membuat sesuatu UUD yang kemudian mendapat persetujuan rakyat. Secara evolusi, UUD/konstitusi berubah secara berangsur – angsur yang dapat menimbulkan suatu UUD, secara otomatis UUD yang sama tidak berlaku lagi.
Keterkaitan antara dasar negara dengan konstitusi yaitu: keterkaitan antara dasar negara dengan konstitusi nampak pada gagasan dasar, cita – cita dan tujuan negara yang tertuang dalam pembukaan UUD suatu negara. Dasar negara sebagai pedoaman penyelenggaraan negara secara tertulis termuat dalam konstitusi suatu negara.
Keterkaitan konstitusi dengan UUD yaitu: Konstitusi adalah hukum dasar tertulis dan tidak ter tulis sedangkan UUD adalah hukum dasar tertulis. Uud memiliki sifat mengikat oleh karenanya makin elastik sifatnya aturan itui makin baik, konstitusi menyangkut cara suatu pemeritahan diselenggarakan.


REFERENSI/SUMBER MAKALAH
• http://id.shvoong.com/social-sciences/political-science/2156068-tujuan-konstitusi/#ixzz1iD9FVprj
• http://www.scribd.com/doc/23883076/makalah-konstitusi
• id.wikipedia.org/wiki/Konstitusi
• definisipengertian.com/2011/pengertian-konstitusi/
• www.scribd.com › Books - Non-fiction › Travel
• Prof. Dr. Komaruddin Hidayat Pendidikan Kewarganegaraan, Jakarta ICCE UIN Syarif Hidayatullah berkerjasama dengan Penerbit Prenada Media Group.
• Prof. Miriam Budiharjo Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta PT Gramedia Pustaka Utama.